MODERNISASI PERTANIAN: MEMBANGUN DESA PROGRESIF
1. Sedikit Tentang Revolusi Hijau
Bersamaan dengan peralihan kekuasaan pada tahun 1965, dikawasan Asia Tenggara tengah berlangsung demam RH atau Revolusi Hijau (green revolution). Pemerintah Orde Baru akhirnya mengambil jalan pragmatis. Peningkatan produksi pangan, terutama padi, melalui Revolusi Hijau kemudian menjadi titik sentral pembangunan untuk masa lebih dari tiga dekade berikutnya dan masalah pertanian tersingkirkan dari agenda pembangunan. Kebijakan agraria orde baru mengambil jalan apa yang disebut by pass aproach (pendekatan jalan pintas) yakni RH tanpa reformasi agraria (agrarian reform). Jalan pintas ini diabdikan untuk mengoperasikan strategi pembangunan yang digulirkan dengan kaidah pokok mengandalkan bantuan asing, hutang dan investasi luar negeri serta bertumpu pada yang besar. Sebagai akibatnya, penguasaan agraria bukanya mereda tetapi justru makin membiak dimanan-mana, disemua sektor dan kesemua wilayah dan melibatkan lebih banyak lapisan masyarakat. Ini terjadi karena pembangunan dipraktekkan tanpa transisi sosial (development without social transition). Hasil swasembada pangan yang dibangga-banggakan tidak berumur panjang, dan dalam sekejab lenyap dihembus angin berlalu.
Padahal, RH merupakan kerja keras pemerintah yang dilakukan dengan at all cost. Pada tahun 1966/1967, pelbagai program swasembada beras yang dirintis pemerintah RI sejak Kasimo Plan 1948 mendapat picu dalam tiga bentuk faktor; revolusi biologi berupa bibit varietas unggul, revolusi kimiawi berupa macam-macam pupuk serta pestisida anti hama dan niatan pemerintah orde baru untuk membuat rakyat menjadi kenyang dan tenang. Dibangun diatas ketersediaan lahan yang relatif subur, rehabilitasi atas sistem irigasi warisan perkebunan kolonial, tenaga kerja pedesaan yang berlimpah, reduksi mekanisme pertanian, penyuluh pertanian, lembaga perkreditan tingkat desa, kontrol harga lengkap dengan rumus tani dan cadangan masukan dan produk pertanian, dan intervensi birokrasi antara lain lewat KUD dan Militer, kiprah bersama ketiga faktor itu telah menelorkan Revolusi Hijau (RH). RH telah membawa perubahan mendasar dalam prilaku petani dalam berhubungan dengan petani lain, alam, teknologi, pemerintah, serta hubungannya dengan perusahan-perusahan besar, baik lokal maupun luar negeri. Hasilnya sangat menakjubkan. Jika pada tahun 1965 tingkat produksi padi Cuma 1,7 ton per hektar, maka pada tahun 1980 sudah mencapai 3,3 ton per hektar dan Indonesia dapat berswasembda beras pada tahun 1984.
Sayangnya, swasembada beras hanya mampu bertahan selama lima tahun. Setelah tahun 1990, impor beras Indonesia terus melonjak dan tidak pernah turun lagi hingga kini. Realitas itu mengindikasikan bahwa kemajuan dalam produksi tidak diikuti oleh kemajuan kesejahteraan petani. Sebabnya adalah, kemajuan dalam berproduksi bukan didorong oleh semangat menyejahterakan diri, tetapi lebih oleh keterpaksaan diri dan atmosfer ketakutan. Keberhasilan RH tidak lebih adalah atas desakan pemerintah lewat sangksi-sangksi sosial manakala rakyat menolak untuk menanam bibit unggul. Petani ketika menanam komoditi tertentu tidak luput dari keterpaksaan ekonomi. Keterpaksaan ekonomi sangat jelas manakala RH membuat petani harus membayar hampir semua asupan, kecuali mereka sendiri. Asupan produksi berupa bibit unggul, pupuk buatan dan pestisida harus dibeli petani dari toko-toko besar yang merupakan outlet dari perusahaan-perusahaan transnasional (Transnational Company: TNC) milik bangsa-bangsa utara. Tanah harus disewa, tenaga kerja buruh harus dibayar, dan dibeberapa tempat penggunaan air irigasi juga dapat diakses hanya dengan iuran yang tidak kecil.
Jika awalnya kalkulasi proses pertanian dibuat dalam tawar-menawar petani dengan alam, sekarang hitungan itu harus dilakukan didepan kekusaan negara dan kebutuhan modern yang digerakkan oleh industialisasi. Jadi, RH telah berhasil bagi sebahagian kecil petani dari perangkap involusi pertanian, tetapi melepaskan sebagian besar petani miskin lahan ke perangkap yang lebih dahsyat, ancaman globalisasi yang dihela oleh ideologi pasar bebas. Monopoli asupan kimiawi dan bibit oleh perusahaan TNC telah menyedot surplus ekonomi yang mestinya dinikmati petani. Inilah pertanda penghisapan globalisasi, penjajahan gaya baru (neo kolonialisme) hasil reproduksi kolonialisme primitif dengan cara penaklukan yang sistematis.
Oleh sebab itu, tidak salah apabila dikemukan disini bahwa sejarah pertanian Indonesia adalah adalah sejarah penyimpangan. Penyimpangan inilah yang telah mewariskan pokok-pokok persoalan struktural disektor pertanian yang masih terus bertahan hingga dewasa ini. Ketika di negara-negara Barat, pertanian dimulai dengan membagi-bagikan tanah kepada penduduk (land reform), yang justru terjadi di Indonesia adalah sebaliknya yakni tanah rakyat dirampas dan di bagi-bagikan kepada pengusaha swastha. Akibatnya, tanah yang dapat diandalkan oleh petani secara terpaksa diberikan kepada penguasa, dan mereka harus merlakan keadaan itu terjadi. Hingga kini, mereka menjadi miskin seolah tak terjamah oleh roda pembangunan.
2. Menciptakan Pertanian Modern
Melihat perkembangan pertanian di Indonesia yang dari tahun ke tahun mengalami gradasi yang signifikan, maka wajar kita bertanya dalam diri kita, ”apakah yang mesti dilakukan lagi?” Kita kurang jauh memandang sekian tahun kedepan dan memikirkan apa yang akhirnya harus terjadi, lalu menyusun rencana kerja mundur kebelakang, kemasa sekarang maupun maju kedepan dengan menggunakan situasi sekarang sebagai pangkal permulaan dari perencanaan kita.
Dalam hubungan dengan itu, maka pelajaran yang kita peroleh ialah bahwa waktu setahun itu tidak lama dan bahwa diperlukan waktu bertahun-tahun untuk dapat menyelesaikan berbagai hal. Adalah suatu paradoks bahwa kita merasakan setahun tiu seperti lama kalau kita melihat kedepan terasa sebentar kalau kita menoleh kebelakang. Apabila kita sadar akan hal itu, maka perlu kita melihat jauh kedepan dalam membuat perencanaan guna memajukan pembangunan pertanian. Kita perlu memasukkan kedalam perencanaan kita itu usaha transformasi dari pola usahatani yang sekarang. Dan tidak hanya mengadakan modifikasi kecil-kecilan saja.
Untuk melakukan transformasi pertanian, atau tepatnya dalam penelitian ini disebut ’menciptakan pertanian modern’ dibutuhkan syarat-syarat seperti 1) teknologi dan efisiensi usaha taninya terus menerus diperbaiki, 2) hasil bumi yang diprodusir terus menerus berobah sesuai dengan adanya perubahan permintaan konsumen dan perobahan biaya produksi yang di sebabpkan oleh adanya perubahan dalam teknologi dan 3) perbandingan antara penggunaan antara tanah, tenaga kerja dan modal pada usaha tani terus berobah-obah sesuai dengan adanya perobahan penduduk, alternatif kesempatan kerja dan teknologi usaha tani. Dengan lain kata, pertanian modern adalah pertanian yang sangat dinamis dan sangat fleksibel serta terus mangalami peningkatan produktivitasnya.
Penulis berpendapat, bahwa suatu kelemahan dalam organisasi dan perencanaan pembangunan pertanian pada masa lampau adalah bahwa kita tidak melihat dengan jelas tujuan jangka panjang yang hendak dicapai dengan memodernisir pertanian itu. Juga jangka waktu berapa tahun yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut tidaklah ditentukan. Kita semua berpendapat, bahwa kita harus menyempurnakan pembangunan pertanian itu dan memulainya dengan keadaan dimana kita sekarang berada. Dalam pada itu, kita sependapat pula bahwa usaha untuk mencapai pertanian yang modern dan dinamis merupakan usaha jangka panjang yang tidak akan dapat terlaksana dengan cepat. Tetapi kita belum berusaha untuk menetapkan berapa lama proses tersebut harus berjalan.
Oleh sebab itu, kita mudah masuk kedalam dua macam perangkap. Kadang-kadang kita merasa kecewa karena walaupun kita telah melaksanakan banyak hal yang kita anggap berguna untuk perkembangan pertanian, tetapi ternyata tidak banyak yang terjadi di bidang produksi pertanian. Pada kesempatan lain, suatu kemajuan yang terjadi secara tiba-tiba dalam produktivitas menyebabkan kita merasa bahwa kita telah berhasil memecahkan masalahnya, padahal, meskipun kita telah mengalami kemajuan, tetapi kita sebenarnya sedang menghadapi semakin mengendornya taraf perkembangan. Untuk menghindari hal itu, kita perlu berpegang pada program jangka panjang yang sebelumnya telah diatur dengan baik, lalu dilaksanakan dengan tekun, ataupun menjadi patah semangat karena kurangnya kemajuan dalam produksi dari tahun ke tahun.
Untuk mencipatakan pertanian yang dinamis dan progresif seperti diatas, diperlukan waktu yang lama tetapi bukan tidak ada batasnya. Penulis yakin, bahwa di Asia Selatan dan Tenggara, setiap negara dapat membentuk pertanian yang dinamis dan modern yang sekurang-kurangnya meliputi kebanyakan dari teritorialnya dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama. Untuk itu, perlu adanya perencanaan yang didasarkan pada pandangan kedepan mulai dari keadaan sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar