Rumah kayu
Yayuk Sulistiyani
Di ujung jalan setapak berdiri sebuah rumah terpencil yang kumuh terbuat dari kayu-kayu bekas, yang kelihatannya sudah agak goyah. Seharusnya sudah tidak layak pakai. Penghuni rumah iu jarang sekali memperlihatkan diri. Kata orang disekitarnya, rumah itu milik seorang nenek-nenek dan seorang bocah laki-laki yang kira-kira masih berumur 12 tahun.
Pagi itu, tampak terlihat si bocah keluar dari rumah tersebut. Dengan pakaian yang compang-camping. Si dudung namanya. Dia terlihat sangat masih kecil untuk bekerja disebuah pabrik tetapi hanya menjadi kuli, suruhan orang-orang pabrik disekitarnya. Panas matahari sangat menyiksa si dudung, belum lagi dengan barang-barang yang dia angkut dengan sebuah gerobak. Itu sangat membuat lelah. Kasihan.
Siang, disaat waktunya beristirahat dan nampaknya si dudung diberi nasi bungkus oleh mandor pabrik tersebut . seketika itu, dudung lekas pulang. Berlari, melewati bebatuan, dan kolong jembatan hingga sampai di rumahnya.
“nek, kita makan yuk.! Dudung teh dapet nasi nek dari bapak komandan..” wajah yang senang nampak dari dudung.
“Alhamdulillah.. jangan lupa bersyukur ya dung sama gusti Allah.” Nek bona Nampak senang dan segera membuka bungkusan nasi itu.
Dengan lahabnya mereka makan satu bungkus nasi untuk berdua. Sungguh prihatin. Dudung hanya tinggal berdua dengan nek bona. Dulu hidupnya tidak sesengsara ini, ketika orangtua dudung masih ada dudung sama seperti anak lainnya, yang dapat menikmati bangku sekolah. Tapi, semua itu hilang begitu cepat. Ketika ibu dan bapaknya kembali kepada Tuhan.
Empat tahun silam, ibunya adalah seorang TKW yang dikirim ke negri Arab Saudi. Dua Tahun tak ada kabar dari ibunya. Saat ibunya ingin kembali ke Indonesia pesawat yang ditumpanginya mengalami kecelakaan, hingga menelan banyak korban. Salah satunya adalah ibunya dudung. Setelah kejadian itu bapak dudung terlihat shock dan jatuh sakit. Akhirnya rumah yang mereka miliki terjual hanya untuk mengobati bapaknya. Namun, Tuhan berkehendak lain, bapak dudung meninggal saat oprasi ginjalnya berlangsung. Sungguh tragis dan malang nasib keluarga ini.
Kini nek bona dan dudung berjuang hidup walau dengan rumah kayu sepeninggalan kakeknya. Nek bona juga sudah tidak sanggup untuk bekerja karena awaknya yang sudah tidak mampu. Hanya dudung harapan nek bona untuk mencari uang demi makan sehari-hari.
“dudung, maafkan nenek dung, gak seharusnya dudung teh bekerja seperti ini.” Nenek mengelus kepala dudung dengan meneteskan air mata.
“ gak papa atuh nek, dudung kan sudah besar, jangan menangis nek, nanti dudung sedih..” dudung memeluk nenek dengan erat.
Mentari di pagi hari sangat indah, seketika perjalanan menuju pabrik, dudung terpaku oleh bangunan sekolah yang ada dipinggiran kota itu. Dudung mendekat dan memandangi sekolah itu dengan seksama. Wajah memelas ada pada dudung.
“ya Allah, dudung mau sekolah lagi..” keluhan hati dudung.
“iiiihhh.. ada gembel, bau banget sih.! Sana pergi, ini bukan tempat kamu.!”
Beberapa anak seusianya yang berseragam itu, mengejek dudung . sehingga membuat dudung merasa sedih dan segera meninggalkan tempat tersebut. Sambil berlari ia mengucurkan air mata dan berkali-kali ia mengelap keringat yang ada di dahinya.
Seperti biasa, dudung bekerja lagi dan pulang pada saat makan siang untuk makan bareng bersama nenek dengan nasi yang dibawanya itu. Namun, hari ini Tuhan berkata lain,
Tiiiiiiinnn….
“brrrrrrraaaaaakkkkkk……..!!!!!!!”
Mobil sedan berwarna hitam itu menabrak dudung. Dan segera membawa dudung ke rumah sakit terdekat. Syukurlah, nampaknya dudung tidak mengalami luka parah, hanya sedikit jaitan di bagian tangannya. Dudung yang tengah sadar itu pun memnggil-manggil nek bona. Rupanya nek bona sudah mendampingi dudung sebelum dudung membuka mata.
“maafkan saya nek, saya lalai sehingga bisa menabrak cucu nenek..” wanita itu menyesal dan dan memegang tangan nek bona.
“gak papa neng, memang sudah jalannya begini.” Nek bona menjawab dengan ikhlas dan memberikan senyuman.
“terimakasih nek, oiya, tadi kata dokter si dudung sudah bisa dibawa pulang, besok kamu juga harus sekolah kan.?” Tanya wenny menoleh kearah dudung.
“si dudung mah neng tidak sekolah, nenek tidak mampu untuk membiayai, boro-boro sekolah, makan sehari-hari saja si dudung harus kerja neng.” Wajah nek bona berubah menjadi sedih.
“kerja.? Kerja apa seusia kamu.?” Wenny terkejut mendengar perkataan nek bona.
“saya bantu-bantu di pabrik ka.!” Jawab dudung dengan singkat.
Mendengar penjelasan dari nenek dan dudung, wenny tersentuh hatinya. Dan berniat untuk membantu dudung. Kebetulan ayah gadis itu adalah seorang ketua yayasan, maka dari itu wenny berniat untuk memasukkan dudung ke sekolah milik ayahnya. Wenny gadis yang baik, ia mendapat persetujuan dari kedua orangtuanya untuk membantu dudung dan menanggung semua biaya kebutuhan dudung.
Dudung semakin besar, sebentar lagi ia akan tamat dari SMA dan akan melanjutkan keperguruan tinggi. Dudung benar-benar serius dalam belajar untuk mendapatkan beasiswa agar bisa masuk universitas. Selama perjalanan dudung disekolah, ia mampu membuat bangga nek bona dan kak wenny yang sangat berjasa untuknya. Dudung punya kelurga baru, dia diangkat sebagai anak sekaligus adik wenny.
Tapi, disaat kebahagiaan itu berlangsung, nek bona meninggal dunia karna faktor usia. Dudung sangat sedih. Belum sempat ia menunjukkan kesuksesannya, dudung melepasnya dengan ikhlas dan berjanji akan menjadi orang sukses dikelak nanti.
Kini, dudung berdiri dengan memakai baju toga hasil dari pengorbanan hidupnya selama ini, ia mampu membuktikan bahwa dirinya sanggup mengenyam pendidikan. Dudung mulai bekerja di salah satu perusahaan ternama, keduduknnya pun dapat dibanggakan.
Dudung mendatangi rumah kayu yang dulu menjadi tempat tinggalnya. Duduk, termenung, memandangi rumah kayu yang akan roboh itu. Dudung berniat untuk memperbaiki rumah itu dan membangunnya menjadi sekolahan terpencil untuk anak-anak jalanan yang sudah menjadi hak mereka. Dengan idenya, dudung memberi nama “Sekolah Kayu Bona”
“dudung berhasil nek..!!!!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar